Gender dan Islam ?
Resume Buku
Judul Buku : Gender
dan Islam
Editor :
Waryono Abdul Ghofur & Muh. Isnanto
Penerbit :
PSW IAIN Sunan Kalijaga
Jumlah Halaman : 250
Tahun :
2002
Al-Qur’an
dan Peran Publik Perempuan
Gerakan feminisme dan isu ketidakadilan gender pertama kali masuk
ke Indonesia pada awal 1960-an hingga saat ini, di mana isu ini telah menjadi
bagian dari fenomena dan dinamika social masyarakat Indonesia. Persoalan
kegenderan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada umumya berasal dari dua arah:
dari luar (eksternal) dan dari dalam (internal). Problem eksternal, misalnya
berupa masih kuatnya untuk tidak mengatakan masih ada reaksi kontra yang
berbasis pada budaya patriarkis dari sebagian unsur masyarakat. Sementara
problem internalnya adalah munculnya kegalauan dan kegamangan psikologis pada
diri kaum perempuan itu sendiri ketika mereka mengaktualisasikan peran public.
(hal.1)
Menurut Amina Wadud, Alqur’an merupakan sejarah moral. Ia
mengajukan nilai-nilai moral yang bersifat ekstra-historis dan transcendental,
sehingga ‘tempat mereka dalam sejarah tidak melemahkan dampak praktisnya atau,
katakanlah maknanya. Rentang waktu al-Qur’an tidak terbatas pada fakta-fakta
dan peristiwa-peristiwa actual yang terjadi, tetapi juga tentang hikmah di
balik peristiwa semacam itu dan efek psikologinya. Kita tidak mempunyai
petunjuk pasti mengenai banyak cerita untuk menentukan apakah itu bersifat
sejarah atau metaforis, harfiah dan kiasan. (hal. 12)
Peran dari kaum perempuan yang dibicarakan dalam al-Qur’an masuk ke
dalam salah satu kategori dalam disklasifikasikan oleh Amina Wadud: pertama,
peran yang menggambarkan konteks social, budaya, dan sejarah di mana si
perempuan tinggal, tanpa pujian tau kritik sekalipun dari al-Qur’an. Kedua,
peran yang memainkan fungsi keperempuan yang secara universal diterima (yaitu
mengasuh atau merawat), yang bisa diberikan beberapa pengecualian-atau bahkan
telah diberikan dalam al-Qur’an sendiri. Ketiga, peran yang memainkan
fungsi spesifik non-jender, yakni peran yang menggambarkan usaha manusia di
muka bumi dan disebutkan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan jenis kelamin
pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan. (hal. 13)
Menurut pandangan Afzalur Rahman al-Qur’an secara eksplisit
mengokohkan kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai manusia dalam konteks,
antaralain: pertama, perbuatan-perbuatan praktis: al-Qur’an akan menilai
setiap manusia hanya berdasarkan prestasi ketakwaannya, bukan karena jenis
kelamin. Kedua, atas dasar saling berpasangan (Zaujain): al-Qur’an
mendeklarasikan laki-laki dan perempuan merupakan pasangan yang diciptakan satu
untuk lainnya, dan karena itu, mereka memiliki status yang setara dalam semua
aspek. Ketiga, sebagai bagian dari Makhluk: al-Qur’an dalam berbagai
konteks menyatakan bahwa semua manusia, termasuk perempuan, diingatkan akan
tugas-tugas mereka terhadap Allah, dan tidak membuat perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Keempat, Keimanana; al-Qur’an menganjurkan kepada seluruh
umat manusia, laki-laki dan perempuan, untuk mentaatiajaran-ajaran Allah dan
untuk beriman kepada-Nya. (hal. 28-30)
Menurut Haifaa A. Jawad, Islam telah memberikan suatu janinan yang
tegas dan pasti kepada kaum perempuan baik dalam peran social, hak-hak politik
dan ekonomi, pendidikan dan pelatihan, maupun kesempatan kesempatan kerja.
Secara teoritis, perempuan dalam Islam diberikan beberapa hak, antara lain: (1)
Hak independensi kepemilikan. (2) Hak memelihara identitas diri. (3). Hak
pendidikan. (4) hak berpartisipasi dalam politik dan peristiwa-peristiwa
public.
Relasi
Gender Dalam al-Qur’an (Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Thabari dan al-Razi)
Menurut al-Thabari dan
al-Razi, yang dimaksud dengan nafs wahidah dalam surah al-Nisa’ ayat 1
adalah Adam, dan zaujaha adalah isterinya (Hawa). Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam, argument yang dikemukakan berdasarkan ayat, min yang
terdapat dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min
tab’idhiyah, ini berarti Hawa diciptakan dari bagian tubuh Adam.
Selanjutnya berdasarkan hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim, yang
menyebutkan secara ekspisit penciptaan wanita dari tulang rusuk laki-laki.
Bahkan al-Razi menyebutkan telah ijmak ulama yang dimaksud dengan nafs
wahidaj adalah Adam, dan zaujaha adalah isterinya (Hawa). Namun ia
juga mengutip pendapat Abu Muslim al-Asfahani yang mengatakan bahwa dhamir
ha pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam, tetapi “dari jins
Adam” (min jinsiha). Sehingga bisa dipahami bahwa asal-usul Hawa
bukan dari Adam, tetapi dari unsur “genetika yang satu” dari hal mana seluruh
makhluk hidup berasal. Dalam hal ini, saying sekali al-Razi tidak memberikan
perincian dan analisa kritis pendapat tersebut, padahal pendapat ini bisa
dijadikan perbandingan dengan atau pendapat altenatif di samping pendapat ulama
jumhur. Dan al-Razi juga tidak menyebutkan secara pasti pendapatnya sendiri.
Sehingga penafsiran mereka dikritik oleh para feminis Muslim. (hal. 75)
Konsep
Kepemimpinan Rumah Tangga
Al-Thabari, al-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sepakat
menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga.
Argumennya adalah pernyataan al-Qur’an al-rijal qawwamun ‘ala al-nisa;.
Kata qawwam dalam kalimat tersebut diartikan sebagai pemimpin. Al-Qur’an
mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama,karena
kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Kedua, karena
kewajiban mereka memberi nafkah keluarga. Namun demikian para mufassir di atas
berbeda pendapat dalam menerangkan apa kelebihan suami atas isteri. Apakah
kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus. (hal. 76)
Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, kepemimpinan laki-laki
dalam rumah tangga bukan menunjukkan derajat wanita lebih redah disbanding
laki-laki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan kepada kelebihan yang
dimiliki laki-laki serta tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu,
kepemimpinan laki-laki terhadap wanita dalam rumah tangga harus bersifat demokratis,
bukan kepemimpinan absolut yang membatasi kebebasan wanita. (hal. 76)
Menurut Asghar, keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional,
bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki
bertugas mencari nafkah dan wanita di rumah menjalankan tugas domestic. Arena
kesadaran social wanita waktu itu masi rendah, maka tugas mencari nafkah
dianggap sebagai keunggulan. Oleh karena itu kepemimpinan laki-laki atas wanita
bersifat kontekstual, bukan normative. Apabila konteks sosialnya berubah,
doktrin out dengan sendirinya juga akan berubah. Sementara Amina menerima
kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, asal laki-laki danggup membuktikan
kelebihannya dan kelebihan itu digubakan untuk mendukung wanita. Kelebihan
laki-laki yang diakui Amina hanyalah kelebihan hak waris yang secara jelas
diterapkan oleh al-Qur’an. (hal. 76-77)
Terjadinya bias gender dalam ketentuan hukum (fiqh) disebabkan oleh
beberapa factor, diantaranya adalah pemahaman yang sepihak oleh laki-laki
tentang nas, budaya local, dan kecenderungan tekstualisme. (hal, 56)
Untuk membangun fiqh yang berperspektif gender, maka perlu adanya
upaya rekonstruksi metodologis, yakni berkenaan denga metode istinbat hukum
dengan melakukan beberapa langkah metodologis berkenaan dengan: pemahaman
terhadap dalil, baik yang qat’iy maupun yang zainniy dan
perlakukannya secara wajar, menggunakan kaidah-kaidah dalam penafsiran atas
dalil beserta sighat lafaznya, memperhatikan prinsip-prinsip atau asas-asas tasyri’I,
dan mengacu kepada maqasid al-tasyri’. Di damping itu perlu membangun
kerangka istinbat yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) mengembangkan
Ijtihad Bayani; Mendialogkan Pemahaman Ta’abbudi dan Ta’aqqudi.
(2) mengembangkan Pendekatan Ta’aqquli dalam Istinbat Hukum , dengan kata lain
kita dalam memahami ketentuan nas tidak hanya secara tekstual atau manqul
al-ma’na, namun juga secara ma’qul al-ma’na, yakni pemahaman nas
secara rasional dan ilmiah. (3). Membangun Hukum Dengan Qawa’id Usuliyyah
atau Qaqa’id Furu’iyyah yang Relevan. (4). Membudayakan Prlunya
Hermeneutika dalam Istinbat Hukum. (hal. 160-161)