Ada Apa Dengan Teologi Feminis?
Resume Buku Feminis
Judul Buku : Memperkenalkan
Teologi Feminis
Penulis :
Anne M. Clifford
Penerbit :
Ledalero
Jumlah Halaman : 640
Tahun :
2002
Dalam karyanya yang berjudul The Book of the City of Ladies, Pizan menceburkan dirinya dalam perdebatan yang teramat penting bagi kaum perempuan. Apakah kaum ini secara kodrati lebih cenderung kepada kebatilan dan kejahatan daripada kaum laki-laki? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang serius dalam sebuah zaman di mana kaum perempuan dipersalahkan atas beragam kejahatan, mulai dari kemandulan sampai dengan jenis-jenis penyakit yang merenggut nyawa. Pertanyaan umum lainnya ialah apakah kaum perempuan yang merupakan keturunan Hawa, penggoda yang memerosokkan Ada, ke dalam dosa, mampu berpikir jernih dan bertindak etis? Jawaaban umum terhadap pertanyaan ini adalah tidak. Maka dari itu, bukankah pantas dan layak kalau laki-laki berkuasa atas perempuan, jenis kelamin yang lebih lemah secara nalar, badani dan moral/ Pizan secara mendalam merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini dan juga argument-argumen yang dikemukakan oleh banyak cendikia laki-laki yang sangat dihormati, yang menandaskan bahwa kaum perempuan dari kodratnya dalam segala hal lebih rendah dari kaum laki-laki. Setelah secara mendalam memikirkan perkara-perkara ini serta berdoa memohon bimbingan Yang Ilahi, Pizan memutuskan untuk lebih percaya akan dirinya sendiri daripada pelbagai argument kaum laki-laki terpandang itu. Ia mencatat:
“Saya
mulai menyelidiki sikap perangai dan perilaku saya sebagai seorang perempuan
alami, dan demikian pula saya turut mempertimbangkan perempuan-perempuan lain
yang kemitraan mereka seringkali saya jaga, putri-putri raja, nyonya-nyonya
terhormat, perempuan-perempuan dari kelas menengah dan bawah.”
Dari yang disimpulkan Pizan dari refleksinya tentang
pengalaman-pengalaman kaum perempuan ini? Tanpa kekecualian, kaum perempuan
adalah sungguh-sungguh manusia dan sama sekali tidak membutuhkan perlindungan
dan bimbingan dari kaum laki-laki. Guna membuktikan pendapatnya ini, ia
mengangkat rupa-rupa kisah tentang kaum perempuan yang ada di dalam Kitab Suci, dari sejarah
dan dari zamannya sendiri. Ia berkeyakinan bahwa kaum perempuan tidaklah lebih
lemah atau rendah dari kaum laki-laki karena jenis kelamin mereka. Ilusi
tentang superioritas kaum laki-laki tercipta oleh karena rendahnya pendidikan
dan keterampilan kaum perempuan. Seandainya kaum ini dididik sama baik seperti
halnya kaum laki-laki, maka mereka akan mnguasai berbagai keterampilan dan ilmu
pengetahuan, sama seperti yang dipunyai oleh kaum laki-laki.
Christiane de Pizan tidak oernah menggunakan istilah “feminism”
sebagai acuan terhadap karyanya. Baru pada penghujung abad ke-19 istilah itu
diciptakan. Seorang perempuan lain, yang juga sama-sama berasal dari Prancis,
Hubertine Auclert, dipandang sebagai pengguna pertama istilah “feminisme” ini
pada tahun 1882 sebagai sebutan untuk perjuangan kaum perempuan guna memperoleh
hak-hak politik. Istilah “feminisme: memiliki kurun waktu persiapan yang lama
bertalian dengan kaum perempuan pencipta sejarah. Satu abad sebelum Auclert
menuliskan kata “feminisme” itu, Mary Wollstonecraft menulis sebuah karya
berjudul A Vindication of the Right of Women di Inggris pada tahun 1792.
Di Amerika Serikat, kaum perempuan mulai mengangkat suara mereka untuk
menentang kedudukan rendah kaum itu pada penghujung tahun 1830-an. Teriakan
serempak ini tertempik di tengah-tengah keterlibatan aktif kaum perempuan dalam
gerakan abolisionis sebelum era perang saudara.
Mengapa
Feminisme?
Alasan utama untuk setiap gerakan feminis ialah guna mengakhiri
penindasan, diskriminasi dan tindak kekerasan yang ditimpakan kepada kaum
perempuan, serta memperoleh kesederajatan dan martabat manusia yang sepenuhnya
bagi setiap perempuan.
Walaupun kemajuan telah dibuat oleh beberapa kalangan perempuan
Eropa dan Ero-Amerika kelas menengah dan atas, namun terdapat alasan-alasan
yang abash untuk menandaskan bahwa ini lebih merupakan kekecualian daripada
kelaziman yang berlaku umum. Disetiap penjuru bulatan bumi ini, kaum perempuan
masih terus mengalami diskriminasi oleh karena jenis kelamin mereka, banyak
perempuan senantiasa diturunkan ke status kedua dan bahkan secara aktif
ditindas oleh kaum laki-laki. Oleh Karena itu, kaum feminis perempuan dan
laki-laki yang bertekad untuk mengadakan perubahan melanjutkan advokasi mereka
bagi kaum perempuan di dalam setiap masyarakat. Tekad yang gigih dari kaum
feminis di Amerika Utara dan Eropa Barat untuk meningkatkan derajat hidup kaum
perempuan diman saja berada menyinambungkan warisan dari gelombang kedua
feminisme, sembari menerjunkan diri mereka ke dalam sebuah gelombang ketiga
feminisme yang menjangkau seluruh dunia, yang memperhatikan perbedaan yang
ditimbulkan oleh social di dalam kehidupan masing-masing perempuan.
Kajian atas rupa-rupa prakarsa yang diambil oleh perserikatan
Bangsa-Bangsa menyangkut kaum perempuan menereangkan hal ini. Sudah sejak tahun
1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi tentang Kedudukan Perempuan
(CSW). Dua puluh tahun kemudian, PBB mengumpuldatukan kaum perempuan dari
seabtereo bulatan bumi ini guna melacak bidang-bidang yang menjadi keprihatinan
bersama mereka. Guna menarik perhatian terhadap keprihatinan-keprihatinan ini,
PBB mengesahkan “Dejlarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan”.
Dokumen trobosan ini kemudian ditindak lanjuti pada tahun 1972 dengan
menetapkan tahun 1975 sebagai “Tahun Perempuan Internasional”.
Kejadian-kejadian selama setahun ini mencakup sebuah rencana konferensi tentang
kaum perempuan di kota Meksiko, yang meluncurkan “Darsawarsa Perempuan PBB”
feminisme mendapat beragam definisi yang luas, tak ketinggalan pula
yang sempit, sejak tahun 1960-an. Dari berbagai definisi luas yang tersedia,
definisi Joann Wolski Conn ada baiknya dikemukakan di sini. Ia mendefinisikan
feminisme sebagai “seperangkat ide yang tertata dan sekaligus suatu rencana
aksi yang praktis, yang berakar dalam kesadaran kritis kaum perempuan tentang
bagaimana suatu kebudayaan yang dikendalikan arti dan tindakannya oleh kaum
laki-laki, demi keuntungan mereka sendiri, menindas kaum perempuan dan serentak
merendahkan martabat kaum laki-laki sebagai manusia.” Definisi luas dari
Wolski Conn ini menggambarkan feminisme sebagai seperangkat ide atau ideology.
Sebagai suatu “rencana aksi yang praktis”, ia menjadikan orang-orang yang ambil
bagian dalam ideology feminis sebagai agen-agen perubahan.
Dalam literature keilmuan kaum feminis, keuntungan kaum lai-laki
yang berwujud kekuasaan atas kaum perempuan dan
laki-laki yang tidak beruntung disebut patriarkat. Patriarkat mengacu
kepada system relasi yang abash di bidang hokum, ekonomi dan politik serta
mengokohkan relasi dominasi di dalam sebuah masyarakat. Dalam Masyarakat
patriarkat kedudukan kaum perempuan dan anak-anak dipandang rendah. Demi
keuntungan kaum laki-laki, maka kaum perempuan tidak diperlakukan sebagai mitra
sederajat. Kaidah ciptaan kaum laki-laki mengabaikan hak-hak, kemerdekaan dan
harapan kaum perempuan. Akan tetapi, kaum laki-laki bukanlah satu-satunya kaum
yang mampu menjalankan patriarkat. Kaum perempuan juga bisa mendominasi
anak-anak mereka dan orang-orang lain yang lebih tentan terhadap dominasi
dibandingkan dengan diri mereka sendiri.
Hierarki patriarkat dalam analisis Aristoteles bersifat sangat
dualistic. Pemikirannya mendukung suatu pola dualistic yang memilih realitas ke
dalam dua bidang yang saling bertentangan, dan memberi nilai lebih kepada yang
pertama dari setiap pasangan. Kaum feminis menandaskan bahwa dualism hierarkis
patriarkat antara kaum laki-laki dan perempuan, jiwa dan raga, nalar dan
perasaan, orang berkulit putih dan berwarna, msnudis fsn slsm non insani, semuanya
bertalian secara erat. Dualism hierarki semacam ini mesti ditantang karena ia
dengan mudah bermuara pada relasi pertentangan dan perilaku opresif.
Diskriminasi gender tersingkap tidak saja dalam pola-pola dominasi patriarkat
kaum laki-laki, tetapi juga dalam perilaku yang menjadikan pengalaman kaum
laki-laki sebagai pusat di dalam semua bidang kehidupan. Sebutan untuk pola
semacam ini adalah androsentrisme, yakni segala sesuatu yang bertalian
dengan kaum laki-laki menjadi kaidah umum, sedangkan apa yang bertautan dengan
kaum perempuan hanyalah kekecualian.
Riley mengelompokkan bentuk-bentuk feminisme ke dalam empat model
utama yaitu: Feminisme Liberal, Feminisme Kultural, Femenisme Radikal,
dan Feminisme Sosialis. yang masing-masingnya memberi sembangsih khas
bagi pemahaman tentang perilaku masyarakat menyangkut peran-peran gender.
Model-Model
Utama Feminisme Dari Gelombang Kedua:
1. Feminisme
Liberal. Menekannkan hak-hak sipil,
memandang hak kaum perempuan untuk secara bebas mengambil keputusan atas
kesehatan seksual dan reproduktif mereka sebagai hak privasi.
Mengupayakan kesetaraan penuh kaum perempuan dengan kaum laki-laki
di dalam semua ranah kehidupan bermasyarakat, khususnya di bidang ekonomi dan
politk.
2. Feminisme
Kultural, disebut juga “feminisme romantic”
dan “feminisme reformasi”. Menekannkan keunggulan moral kaum perempuan atas
kaum laki-laki, serta nilai-nilai yang secara tradisional dipertautkan dengan
kaum perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan serta pencipta kedamaian.
Mengupayakan perbaikan masyarakat dengan menekannkan berbagai
sumbangsih ditunaikan oleh kaum perempuan.
3. Feminisme
Radikal. Menekankan meraja relanya dominasi
kaum laki-laki, yang merupakan akar dari semu masalah kemasyarakatan, serta
pentingmya “kebudayaan yang terpusat pada kaum perempuan”, yang dicirikan oleh
oleh pengasuhan, kedekatan kepada alam alam ciptaan dan bela rasa. Mengupayakan
dihapuskannya patriarkat dalam rangka membebaskan kaum perempuan dari kendali
kaum laki-laki di dalam setiap ranah kehidupan, termasuk kehidupan keluarga.
4. Feminisme
Sosialis. Menekankan dominasi kaum laki-laki
berkulit putih di dalam perjuangan kelas ekonomi masyarakat kapitalis. Percaya
bahwa dominasi itu merupakan alasan atas pembagian kerja menurut jenis kelamin
dan ras, serta perendahan nilai kerja kaum perempuan, khususnya kerja
membesarkan anak-anak.
Mengupayakan diakhirinya ketergantungan ekonomi kaum perempuan pada
kaum laki-laki, serta menggapai reformasi social menyeluruh yang akan
mengakhiri pembagian kelas, dan menyanggupkan semua perempuan dan laki-laki
agar memilki peluang yang sama untuk mencari nafkah dengan bekerja dan terlibat
secara aktif dalam peran sebagai orangtua.